Yang disebut nilai adalah faham yang sangat tidak terikat secra kongkrit , tetapi lebih betendensi abstrak. Dalam hubungan pergaulan sosial maka apa yang dianggap bernilai ialah suatu faham yang implisist terikat pada satu individu atau sekelompok individu dan yang oleh mereka itu dianggap wajar, patut dan malahan patut dimiliki atau dicontoh dan seterusnya di . . .https://dryuliskandar.wordpress.com/2009/01/28/psikiatri-kusumanto-yul-iskandar-14/
Empat Dasa Warsa Pendekatan Eklektik-Holistik di bidang Kedokteran Jiwa (Psikiatri) (1966-2006), dan Terapi Gangguan Skizofrenia.
Oleh
R. Kusumanto Setyonegoro.,MD.,SpKJ., PhD
psikiater,
mantan Guru besar psikiatri FKUI, Jkt
mantan Direktur Kesehatan Jiwa, Depkes RI
dan
Yul Iskandar,MD., SpKJ., PhD
Direktur Institute for Cognitive Research.
Catatan.
Tulisan adalah diambil dari Disertasi Kusumanto Setyonegoro (1966), dan pendapat Yul Iskandar terhadap tesis itu, naskah ini telah dipersiapkan selama lebih kurang 10 tahun, dan baru bisa selesai tahun 2006. Naskah ini sedianya akan diterbitkan menjadi buku atas persetujuan Prof. Kusumanto pada tahun 2006, dengan judul diatas. Tulisan ini untuk sementara diterbitkan dalam bentuk seperti ini, dan
Tulisan ini bisa diperbanyak tanpa izin asal menyebut sumbernya.
j. Norma – Nilai
Yang dimaksud dengan norma ialah suatu harga atau ukuran yang dianggap merupakan harga atau ukuran biasa atau kebanyakan yang akseptabel untuk sebagian besar masyarakat. Yang dimaksud dengan norma sosial ialah kebiasan-kebiasaan atau adat istiadat yang dianggap lazim dan akseptabel dalam lingkungan sosial yang bersangkutan. (Kusumanto 1966)
Yang dinamakan norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat suatu warga atau kelompok dimasyarakat yang dipakai sebagai panduan atau tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan dapat diterima.
Ada beberapa keadaan yang termasuk norma, misalnya norma agama, aturan yang menata manusia dipergaulan yang bersumber pada agamanya.
Norma sosial, aturan yang menata manusia pada hubungan sosial yang sesuai dengan tempatnya, adat istiadat, yang lazim dan akseptabel. Tapi Justru norma yang tadinya mau mengatur manusia, karena perubahan tempat dankultur menjadi sangat berbenturan, yang banyak mengakibatkan penderitaan, kalau tidak sampai sakit. Misalnya seorang wanita muslim yang ingin mengawini laki-laki yang tak seiman, akan menimbulkan masalah yang luar biasa an dapat menjadikan dia seorang pasien psikiatrik.
Norma susila, aturan yang menata tindakan manusia pada hubungan pergaulan antara pria dan wanita.
Aturan-aturan itu hidup dan berubah sepanjang waktu, dan ada kalanya norma yang baru telah terjadi tetapi masyarakat belum bisa menerimanya. Konflik batin dan kekesalan bisa terjadi karena tidak sesuainya norma yang dimiliki dan yang ternyata ada disekelilingnya. Contoh yang paling menonjol adalah bercumbuan / berciuman di taman dinegara barat adalah hal yang lumrah, akan tetapi tentunya di Indonesia akan menjadi masalah besar. Sebaliknya buang air kecil sembarang tempat, dipinggir jalan misalnya di Indonesia sering kita lihat, tapi dinegara Barat masalah itu akan menimbulkan masalah. Apalagi dengan kemajuan teknologi dan peradaban, serta mudahnya acses pada pemberitaan, maka pelanggaran-pelanggaran norma-norma susila dengan telanjang mata akan banyak ditemui di Internet misalnya. Masalah itu tidakmudah diterima bagi anak-anak yang dididik sebagai fundamentalis.
Norma siap kalah dan siap menang terjadi dengan aman di negara demokratis yang sudah mapan, akan tetapi kita banyak yang tak siap untuk kalah sehingga menimbulkan masalah. Maksud hati ingin menyelesaikan masalah dengan membawa masalah itu pada kasus hukum, ternyata norma hukum tidaklah sama dengan norma moral, sehingga memperberat masalah. Banyak yang tak mengerti masalah perbedaan antara norma etika, norma moral dan norma hukum, bahkan para psikiater pun banyak tidak melihat masalah itu. Banyak yang melanggar norma hukum, dia hanya mengangap melanggar masalah administrsi, orang-orang itu lupa bahwa melanggar norma hukum adalah pelanggaran pidana yang bisa membawanya kepenjara. (Yul Iskandar 2006)
Yang disebut nilai adalah faham yang sangat tidak terikat secra kongkrit , tetapi lebih betendensi abstrak. Dalam hubungan pergaulan sosial maka apa yang dianggap bernilai ialah suatu faham yang implisist terikat pada satu individu atau sekelompok individu dan yang oleh mereka itu dianggap wajar, patut dan malahan patut dimiliki atau dicontoh. (Kusumanto 1966)
Nilai budaya, adalah masalah dasar yang sangat penting dan bernilai untuk kemajuan kemanusiaan. Adanya orang salah kaprah dengan mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi nilai budaya bangsa Indonesia, karena semua lapisan sudah terkena penyakit itu. Nilai budaya adalah sesuatu yang membawa kemajuan, korupsi, merampok, berselingkuh, dan segala hal negatif, adalah perbuatan kriminal dan tak ada hubungan dengan nilai budaya. Dialam Minangkabau jelas bahwa nilai budaya atau dinamakan adat, terbagi dalam yang prinsipil (sebenarnya budaya atau adat) yang mempunyai referensi pada kitab suci (Al Quran), sedangkan nilai budaya lain adalah hal yang dibuat manusia untuk keindahan, misalnya pakaian tertentu untuk tingkat tertentu, makanan tertentu, tarian tertentu yang semua bisa berubah sesuai dengan kemajuan zaman. Benturan adat dan nilai budaya dinegara kita yang multi etnis, bukan masalah yang mudah. Represi dan toleransi tidak mudah dilakukan dan beberapa orang akan mengalami benturan budaya, yang bisa mengalami break-down mental. Ada bebrapa mahasiswa di Luar negeri yang mengalami hal itu dan sering dianggap sepele, dan akhirnya mereka telah menderita gangguan psikiatri dalam stadium lanjut.
Nilai moral, adalah segala sesuatu yang dianggap seseorang benar dan salah. Nilai moral tidak mengenal daerah abu-abu. Hanya ada salah dan hanya ada benar, diluar keduanya tidak ada. Banyak pasien yang datang pada psikiater hanya karena membaca mobile-phone (sms) suaminya dari wanita lain. Si Istri sudah satu bulan tidak tidur memikirkan masalah itu. Masalah – masalah psikiatri yang berhubungan masalah moral, makin lama makin banyak, karena makin suburnya liberisme, dan makin tidak dimengertinya masalah moral- diwaktu lampau. (Yul Iskandar 2006)
Oleh karena itu yang dianggap bernilai secara sosial, merupakan hasil olahan sosial yang telah melalui proses kemasyarakatan yang lama, dimana individu secara terus menerus terpengaruh sehingga ia tidak mengasimilasi dan menginternalisasi nilai nilai tadi. Nilai –nilai itu tidak dapat dilepaskannya begitu saja , tetapi menjadi suatu segmen atau aspek yang integral dari seluruh kepribadiannya. (Kusumanto 1966)
Hal ini sangat mudah bagi individu yang tidak mobile, tetapi akan sangat sulit bila dia melihat dunia lain disekitarnya. Pada tahun 1974, negara Singapura jauh lebih buruk dari Jakarta, akan tetapi tahun 2004, Jakarta bukan apa-apa bila dibandingkan dengan Singapura. Rasa kebangsaan anak muda menjadi terkikis oleh sebab-sebab yang nyata nilai-nilai luhur, ternyata hanya ada dalam bibir saja. Ditahun 1969-1979 banyak Sarjana-sarjana kita yang dikirim keluar negeri, dan mereka pulang untuk membangun negeri, akan tetapi apa daya mereka tidak diberi tempat meja atau kursi. Sebagian kembali lagi kenegeri tempat dia belajar dan diberi meja kursi dan tempat yang terhormat, dijadi profesor setelah 10 tahun bekerja. Berapa banyak orang-orang Indonesia yang menjadi hebat dinegara lain, tetapi yang pulang ke Indonesia, ternyata ditelantarkan. Nilai-nilai luhur yang tadinya dia pegang, lama-lama menjadi luntur, atau menjadi penderitaan baginya, yang buruk adalah mereka menjadi break-down mental. Penulis (YI) menemukan paling kurang 10 orang S3 yang mengalami break down mental, karena masalah nilai nilai yang berbenturan ini .(Yul Iskandar 2006)
Dapat dipahami, bahwa masalah ini ada hubungannya yang erat dengan kedudukan manusia sebagai salah satu unsur dalam masyarakatnya yang mengenal etik sosial tertentu, dan oleh sebab itu maka manusia harus bertindak sebagai unsur etik sosial yang ada relasinya dengan masyarakatnya.
Hal ini penting kita perhatikan . Sebab walaupun manusia itu bebas memilih , tetapi situasi dan kedudukannya turut berpengaruh dalam menentukan pilihannya.
Ia tak memilih secara indiskriminatif atau non kritik. Ia akan mengusahakan kesadaran dan keinsyafan yang setinggi-tingginya dengan mengetahui konsekwensi-konsekwensi seumumnya. Sebab manusia itu tidaklah hanya sekedar tantangan kongkrit itu saja. (Kosumanto 1966)
Februari 4, 2010 pukul 7:30 am |
tulisan yang menarik…..
saat ini saya sedang melakukan penelitian terkait dengan kekerasan psikis yang dialami oleh perempuan dibuktikan dengan visum et repertum psikiatrikum…punya reverensi buku g mas???
makasi sebelumnya….
Juni 6, 2010 pukul 11:43 am |
Psikiatri Biologik dalam waktu singkat akan mengadakan pertemuan membahas berbagai masalah psikiatri BIologik. Kini ada 20 anggauta baru psikiatri biologik.
Salam;
Dr Yul Iskandar